Pasar saham Asia-Pasifik pada Rabu pagi tadi menunjukkan sentimen yang beragam, dengan sebagian besar cenderung suram. Meskipun saham Jepang menunjukkan kinerja yang luar biasa dan S&P500 Futures menunjukkan optimisme, pedagang tetap merasa ragu terkait perpanjangan pagu utang AS. Hal ini terjadi meskipun ada optimisme dari pembuat kebijakan, serta harapan akan kebijakan hawkish dari bank sentral masing-masing negara. Informasi mengenai saham Asia kali ini merupakan berita akurat berdasarkan analisis teknikal dari FxStreet.
Selain itu, kekhawatiran geopolitik seputar Australia dan China juga turut mempengaruhi suasana hati-hati di pasar.
Di tengah situasi tersebut, indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang mengalami ketidakpastian dengan penurunan kecil, sementara indeks Nikkei 225 di Jepang mencapai level tertinggi baru sejak September 2021, dengan kenaikan 0,80% intraday mendekati angka 30.080 saat ini.
Secara umum, S&P500 Futures mengalami kenaikan ringan di sekitar 4.135, berlawanan dengan kinerja yang suram di Wall Street. Sementara itu, imbal hasil obligasi Treasury AS dengan tenor 10 tahun dan dua tahun mencatat penurunan harian pertama dalam empat hari terakhir.
Meskipun begitu, indeks Dolar AS (DXY) mengalami penurunan menjadi 102,57 setelah mengalami kenaikan intraday sebesar 0,18% pada hari Selasa, untuk membalikkan penurunan awal pekan.
Perlu dicatat bahwa angka awal yang optimis dari Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang untuk kuartal pertama (Q1) 2023, dengan pertumbuhan sebesar 0,4% secara perbandingan kuartalan (QoQ) dibandingkan dengan perkiraan sebesar 0,1% dan angka sebelumnya yang sebesar 0,0%, menggembirakan para pembeli di Tokyo. Hal ini menandai keuntungan kuartal pertama dalam tiga kuartal terakhir.
Di sisi lain, Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi Perencana Negara China untuk Republik Rakyat China (NDRC) baru-baru ini mengumumkan langkah-langkah yang akan diambil untuk meningkatkan potensi konsumsi dan melakukan upaya berkelanjutan dalam menstabilkan serta memperluas investasi manufaktur.
Langkah-langkah ini menunjukkan upaya China untuk memperkuat sektor konsumsi dan sektor manufaktur sebagai bagian dari upaya mereka untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.
Saham di China, Hong Kong, Australia, dan Selandia Baru masih mengalami tekanan di tengah kekhawatiran akan sikap hawkish Federal Reserve (Fed) dan keraguan terhadap kemampuan diplomat AS dalam mengatasi kekhawatiran gagal bayar utang.
Selain itu, berita utama yang menyebutkan pembatalan pertemuan empat negara di Australia dan keberagaman indeks harga upah Aussie juga memberikan tekanan terhadap risiko pasar.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, mengatakan kepada Reuters, "Para pemimpin Australia, Amerika Serikat, India, dan Jepang seharusnya bertemu di Jepang dalam pertemuan G7 akhir pekan ini, setelah Presiden Biden membatalkan perjalanan ke Sydney dalam leg kedua kunjungan Asia mendatang. Perjalanan tersebut juga termasuk kunjungan ke Papua Nugini."
Ketidakpastian terkait pertemuan empat negara tersebut dan pembatalan kunjungan Presiden Biden dapat memberikan dampak negatif pada sentimen pasar dan mengakibatkan penurunan dalam saham-saham di China, Hong Kong, Australia, dan Selandia Baru. Selain itu, indeks harga upah Aussie yang beragam juga menambah beban terhadap selera risiko di pasar.
Perlu diperhatikan bahwa meskipun terdapat optimisme dari para pemimpin kongres AS, data-data positif dari AS, dan pembicaraan Fed yang hawkish, hal tersebut berkontras dengan situasi yang terjadi di pasar yang mengalami kenaikan.
Baca Juga :
Harga Saham Asia Anjlok Karena OPEC+ Mengurangi Produksi Minyak
Pasar Saham Asia Anjlok Di Tengah Minyak Dunia Rebound
Dengan Akun Ini, Dapetin Profit Trading Secara Maksimal, Jadiin Peluang Cuan!