Menuai banyak kontroversi saat baru masih menjadi wacana, tidak membuat pemerintah mengurungkan diri untuk membentuk sovereign wealth fund milik Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, untuk mewujudkannya, Presiden Joko Widodo mengukuhkan lima orang sebagai dewan direksi di lembaga pengelola investasi ini dan menyertakan modal dari APBN sebesar Rp15 triliun. Jika Anda masih merasa awam dan tidak familiar, berikut penjelasan mengenai SWF.
Sebenarnya, apa itu sovereign wealth fund?
Mengutip Investopedia, sovereign wealth fund adalah dana investasi yang dikelola atau dimiliki oleh suatu negara atau pemerintah, dana ini dikelola biasanya berasal dari cadangan surplus pendapatan suatu negara. Negara dengan surplus pendapatan akan menginvestasikan surplus tersebut ke SWF milik mereka dibandingkan hanya dijadikan simpanan di Bank Sentral. Pengelolaan dana SWF tentu bertujuan untuk menghasilkan return layaknya investasi.
Lalu, bagaimana dengan masalah likuiditasnya? Negara yang khawatir mengenai likuiditas dibandingkan return bisa membatasi investasi sovereign wealth fund hanya pada instrumen surat utang yang sangat likuid. Tujuan suatu negara mendirikan SWF biasanya berbeda-beda karena sangat bergantung pada kepentingan ekonomi.
Sebagi contoh ada Uni Emirat Arab (UEA) yang menempatkan sebagian surplus pendapatan pada SWF milik mereka dengan tujuan jika harga minyak dunia turun dan berimbas pada pendapatan, maka dana investasi bisa menutup penurunan tersebut. UAE sendiri menjadi salah satu pemilik SWF dengan dana investasi terbesar di dunia yaitu Abu Dhabi Investment Authority. Dana ini mencapai US$ 696,66 miliar pada 2019.
Bagaimana perkembangan SWF di Indonesia?
Sebelum Presiden Joko Widodo meresmikan sovereign wealth fund milik Indonesia, sebetulnya Indonesia pernah memiliki lembaga pengelola investasi. Pada 2007, Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Pembentukan PIP sendiri telah mengacu pada skema sovereign wealth fund milik Singapore yaitu Government Investment Center (GIC) dan Temasek Holding serta sovereign wealth fund milik Malaysia, Khazanah Nasional.
Suntikan modal awal kala itu sebesar Rp4 triliun, karena dinilai tidak berkembang, akhirnya PIP dilikuidasi pada 2015 dan ditutup melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.06/2015.
Dilansir dari Katadata, saat lawatannya ke Uni Emirat Arab pada 2020, Presiden Joko Widodo dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed Bin Zayed membahas kerja sama investasi termasuk rencana pembentukan sovereign wealth fund yang akan menjadi ‘wadah’ untuk menempatkan dana investasi dari berbagai negara, termasuk UEA yang menginvestasikan 28 miliar dolar AS. Tidak hanya UEA, Masayoshi Son dari Softbank, Jepang dan International Development Finance Corporation (IDFC), Amerika Serikat bergabung untuk berinvestasi melalui sovereign wealth fund.
Lalu melalui keputusan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi dan resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Desember 2020, Indonesia resmi memiliki sovereign wealth fund bernama Indonesia Investment Authority.
Lantas, apa perbedaan Indonesia Investment Authority (INA) dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)? Bedanya, BKPM adalah lembaga perizinan dan regulator yang berfungsi mengurus perizinan investasi, bukan sebagai pelaksana investasi sehingga BKPM tidak memiliki skema investasi. Sedangkan INA memiliki skema investasi dan bertujuan meningkatkan nilai tambah investasi secara jangka panjang untuk mendukung pembangunan.
Dikutip dari laman Indonesia Investments, INA bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah investasi di Indonesia, terutama untuk para investor yang ingin berinvestasi di Indonesia namun seringkali batal karena masalah ketidakpastian hukum. INA sendiri merupakan bagian UU Omnibus Cipta Kerja yang telah disahkan dan diharapkan memberikan dampak bagi iklim usaha dan investasi di Indonesia.
Berbeda dengan negara teluk Arab yang membentuk SWF dengan modal dari cadangan surplus, Indonesia yang selalu mengalami defisit pendapatan negara menggunakan dana APBN 2020 sebesar Rp15 triliun untuk menjadi modal awal INA. Pemerintah sendiri berambisi akan meningkatkan modal pada 2021 hingga berjumlah Rp75 triliun.
Meskipun terdengar ambisius, pada akhir 2020, sebenarnya pemerintah telah berhasil mengumpulkan dana investasi dari UEA, Jepang, Kanada, hingga Amerika Serikat dengan nilai mencapai 30,8 miliar dolar AS. Jika semua komitmen investasi ini dipenuhi, maka Indonesia telah berhasil mengumpulkan dua kali lipat dana investasi dari target awal. Sayangnya, hingga saat ini dana investasi belum terealisasi.
Mengapa INA menuai kontroversi di kalangan publik?
Dinukil dari Tirto, INA mendapatkan suntikan modal awal sebesar Rp75 triliun. Namun dana tunai yang tersedia hanya sebesar Rp30 triliun, selebihnya hanya berbentuk piutang negara, barang, aset, dan saham BUMN. Jadi total modal yang diterima oleh INA baru sebesar Rp15 triliun (berasal dari APBN 2020). Modal ini terbilang minim untuk lembaga pengelola investasi seperti SWF karena modal INA lebih banyak berasal dari luar pemerintah. Berbeda dengan SWF yang dimiliki oleh negara teluk Arab atau Singapura yang modalnya berasal dari cadangan surplus.
Padahal sejatinya, SWF dibentuk untuk mengelola "wealth" suatu negara. Sedangkan modal awal untuk membentuk INA berasal dari APBN yang berstatus defisit, hal ini dinilai membebani keuangan negara. Maka tidak heran jika pembentukan sovereign wealth fund menuai kontra di kalangan publik hingga muncul kecurigaan. Kekhawatiran publik tentu beralasan, merujuk pada PP No. 74 Tahun 2020, jika INA mengalami kerugian maka pemerintah bisa menambah modal. Hal ini berpotensi merugikan negara apabila INA terus menunjukkan kinerja buruk.
Belum lagi sektor keuangan Indonesia yang selalu dihantui oleh skandal mega korupsi. Mulai dari runtuhnya sejumlah Bank pada 1998 yang memicu suntikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus bank Century, hingga kasus terbaru asuransi Jiwasraya, Bumiputera, dan Asabri dimana negara kehilangan uang mencapai triliunan rupiah.
Deretan kasus ini memicu kekhawatiran publik saat pemerintah membentuk sovereign wealth fund yang akan mengelola ratusan triliun aset pemerintah. Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bernama Indonesia Investment Authority (INA) ini dikhawatirkan akan bernasib serupa 1Malaysia Development Berhad (1MDB), dikoyak skandal korupsi dan pencucian uang bernilai miliaran dollar.
Permasalahan lainnya yang menjadi perhatian publik adalah peran kementerian keuangan yang tetap memiliki tugas mengelola investasi pemerintah pusat sebagaimana telah diatur dalam UU Cipta Kerja. Artinya, menteri keuangan akan ikut serta dalam urusan operasional
Indonesia Investment Authority.
Berbeda dengan skema SWF singapura, yakni GIC dan Temasek Holdings. GIC memiliki tugas mengelola surplus cadangan devisa untuk berinvestasi di luar mata uang Singapura, sedangkan Temasek Holding bertugas mengelola BUMN. Jadi, dalam dua lembaga pengelola investasi ini, menteri keuangan jelas hanya berperan sebagai pemilik saham mewakili pemerintah.
Sayangnya di Indonesia, posisi menteri seringkali adalah hasil tawar-menawar politik, banyak menteri terafiliasi dengan partai politik atau kepentingan kelompok tertentu. Meksipun saat ini menteri berasal dari berasal dari kalangan profesional. Tapi tidak ada jaminan posisi ini akan terus diisi dari unsur profesional. Tentu ini akan menimbulkan isu kepercayaan dan independensi lembaga bagi calon investor nantinya.
Apakah INA akan berpengaruh pada investasi forex, saham, atau komoditi?
Hingga saat ini belum ada sumber valid yang mengatakan bahwa Indonesia Investment Authority akan berimbas secara langsung pada investasi forex, saham, dan komoditi. Ini artinya sovereign wealth fund seperti INA tidak akan berpengaruh secara signifikan untuk investasi dan hanya berpengaruh pada kebijakan makro dan fiskal nasional.
Terlebih lagi investasi forex lebih banyak dipengaruhi oleh ekonomi negara atau kebijakan moneter suatu negara yang mata uangnya paling banyak diperdagangkan secara global, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Begitu juga dengan emas yang fluktuasinya juga dipengaruhi oleh kurs mata uang dan suku bunga imbas keputusan Bank Sentral AS. Sedangkan harga minyak fluktuasinya disebabkan oleh permintaan dan penawaran serta permasalahan ekonomi dunia dan kondisi politik.
Tidak hanya negara, Anda juga pintar harus kelola Investasi
Ingin mengelola dana investasi Anda sendiri tanpa bantuan manajer investasi? Jangan khawatir jika Anda pemula, GIC memiliki ekosistem yang akan membantu Anda mulai dari platform
trading,
edukasi trading, fitur
copy trading, dan fitur lainnya yang memudahkan Anda untuk berinvestasi. Belum kenal dengan GIC? Mari berkenalan. Berbeda dengan perusahaan pialang konvensional lainnya, GIC melalui platform GICTrade memberikan solusi bagi para
trader yang tidak ingin dibebankan dengan tingginya biaya
trading. GICTrade adalah sebuah platform peer-to-peer
trading yang mempertemukan
trader dan
market maker.
Lalu, apa istimewanya GICTrade? Sebagai platform yang mempertemukan
trader dan
market maker, Anda sebagai calon nasabah tentu bisa memilih diantara keduanya, yaitu menjadi
trader atau
market maker.
Peran GICTrade sebagai penyedia tempat transaksi bisa meminimalisir biaya dan membantu memaksimalkan profit untuk para
trader dan market maker serta menciptakan suasana transaksi dan hasil yang adil.
Trader akan diuntungkan dengan tidak adanya biaya komisi dan biaya swap serta
spread yang rendah karena adanya market maker sebagai penyedia likuiditas.
Anda juga bisa bergabung dengan komunitas
trader di
Telegram GICtrade untuk bertanya langsung kepada sesama
trader seputar pengalaman
trading. Follow juga
Instagram GIC untuk mendapatkan informasi webinar dan berbagai hadiah menarik. Selain itu, di
YouTube GIC, para
trader juga bisa belajar
trading gratis
loh!
Tunggu apalagi? Makin lengkap fitur yang mendukung penuh Anda untuk memulai investasi dan
trading forex melalui GIC. Jadikan transaksi lebih simpel, aman, dan menguntungkan. Mulailah dengan membuat
akun demo.